Membongkar-bongkar Virolog dan Epidemiolog

TELAH setahun lebih dunia dibayangi pandemi covid-19. Tak tersendiri Indonesia. Mimpi buruk itu pun mulai menghantui keturunan ini setelah kasus mula-mula covid-19 di Tanah Minuman diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada Maret 2020. Kini, tercatat sudah lebih dari 1, 5 juta orang Indonesia terinfeksi virus yang berasal dari Praja Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok, itu. Sekitar 43 seperseribu orang di antaranya wafat dunia.
Kata wabah akibat virus yang berjangkit serempak di mana-mana, tentu kita tak mampu lepas dari virologi, cabang ilmu biologi yang mempercakapkan tentang virus. Di samping itu, kita pun sering mendengar istilah epidemiologi, ilmu yang mempelajari tentang arketipe penyebaran penyakit atau perihal yang berhubungan dengan kesehatan beserta faktorfaktor yang bisa memengaruhinya. Tentunya dalam ke-2 cabang ilmu itu tersedia ahlinya. Ahli virologi serta ahli epidemiologi.
Terkait dengan itu, pada bahasa Indonesia, pola ijmal pembentukan kata untuk pengucapan ahli dalam bidang biologi/kedokteran/ kesehatan ialah dengan menghilangkan huruf terakhir i daripada nama cabang ilmu dengan dikuasai. Misalnya, sebutan dermatolog untuk ahli di dunia dermatologi, radiolog ahli radiologi, urolog ahli urologi, kardiolog mahir kardiologi, dan ginekolog lihai ginekologi. Sebutan-sebutan itu kendati sudah diakomodasi dalam Leksikon Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring.
Ragam seperti itulah yang barangkali akhirnya membuat para jurnalis menyebut atau menulis virolog untuk seorang ahli virus dan epidemiolog untuk terampil epidemiologi dalam pemberitaan terkait dengan pandemi covid-19.
Sayangnya, kalau kita mencari kata virolog serta epidemiolog di KBBI, ternyata kamus rujukan bagi pengguna dan praktisi bahasa Nusantara itu belum mengakomodasinya. Lema virolog dan epidemiolog tak ditemukan.
Masih terkait dengan pandemi covid-19, kata pulmonolog (lagi-lagi kalau mengacu pada pola sebelumnya) juga belum diakomodasi pada KBBI sebagai sebutan ahli pulmonologi atau spesialisasi kedokteran untuk penyakit yang bersangkutan dengan saluran pernapasan atau paru.
Kami sendiri tidak tahu bukti KBBI Daring belum menolong kata-kata tersebut. Mungkin selalu para leksikograf KBBI berpaham kata-kata tersebut jarang menjelma dan digunakan publik, jadi belum perlu untuk diakomodasi.
Sejatinya, di pembentukan kata untuk pengucapan ahli-ahli di bidang biologi/kedokteran/kesehatan tersebut terdapat alternatif lain dengan menggunakan pola yang sudah jelas ada pada kaidah bahasa Indonesia.
Seperti diketahui, tersedia akhiran (sufiks) -is yang berfungsi membentuk nomina ‘orang yang bergerak atau cakap dalam’, misalnya kartunis untuk orang yang ahli menggambar kartun dan linguis pandai ilmu bahasa.
Pola atau ‘rumus’ kaya itu pun bisa digunakan dalam penyebutan ahli pada bidang biologi/kedokteran/kesehatan. Misalnya, dermatologis untuk ahli di bidang dermatologi, radiologis ahli radiologi, urologis ahli urologi, dan ginekologis ahli ginekologi. Lalu virologis untuk ahli virus, epidemiologis ahli epidemiologi, kardiologis pakar kardiologi, pulmonologis ahli pulmonologi.
Toh, sopan santun Inggris juga ‘ menganut’ pola seperti itu, secara menggunakan sufiks -ist untuk menyebut ahli di tempat tertentu. Misalnya virologist untuk ahli di bidang virologi, epidemiologist untuk ahli epidemiologi, radiologist ahli radiologi, serta urologist ahli urologi.
Kedua pola pendirian kata untuk penyebutan ulung dalam bidang biologi/kedokteran/kesehatan dalam atas, menurut saya, mampu digunakan. Meski pun demikian, para pengguna atau pekerja bahasa Indonesia seperti para-para jurnalis memerlukan ‘fatwa’ khusus terkait hal itu.