Pengamat: Istilah Lone Wolf jangan Disematkan pada Pelaku Teror

PERISTIWA penembakan di Mabes Polri pada 31 Maret lalu disebut aparat kesejahteraan dan media massa jadi lone wolf. Merujuk hasil penyidikan polisi, dakwaan jaksa, serta vonis hakim di dalam kasus terorisme selama itu, kasus-kasus yang awalnya dikenal sebagai lone wolf, ternyata tidak dilakukan sendirian.
Selain itu, penggunaan kata tersebut juga sudah berangkat ditinggalkan dalam praktek kebijaksanaan kontraterrorisme karena dianggap mengglorifikasi aksi terorisme.
Penasihat Eksekutif Policy and Regulatory Institute (PRI) Arisakti ‘Rico’ Prihatwono mengungkapkan, lone wolf sebenarnya merupakan terminologi pengetahuan zoologi untuk menggambarkan isyarat serigala yang hidup seorang diri, berbeda dari karakter ijmal hewan tersebut yang biasanya hidup dalam kawanan.
“Istilah itu kemudian dipinjam dalam kajian keamanan buat menggambarkan aksi terorisme yang dilakukan sendirian tanpa jaringan dan rantai komando dengan jelas, ” ujarnya di keterangan tertulis.
Rico menjelaskan, berdasarkan definisi umum dengan disepakati dunia, mereka dengan disebut lone wolf memiliki beberapa kriteria. Pertama, membuat-buat secara individu tanpa konco. Kedua, bukan merupakan bagian atau tidak terafiliasi dengan organisasi yang terkait terorisme. Ketiga, beroperasi tanpa ikatan komando (chain of command) atau pengaruh seorang kepala.
“Keempat, merencanakan rencana dan aksi serangan teror sendirian. Kelima, mengalami proses radikalisasinya sendiri, ” sahih Rico.
Merujuk pada rumusan tersebut, dan dari petunjuk penyidikan polisi, dakwaan jaksa, serta vonis hakim dalam kasus-kasus terorisme yang berlaku sebelumnya, kasus-kasus yang awalnya disebut sebagai ‘lone wolf’, ternyata belakangan terbukti merupakan bagian dari sel ataupun jaringan teroris tertentu.
Contohnya, RM, pelaku bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan, Sumatera Utara, di 13 November 2019 yang awalnya disebut polisi jadi pelaku tunggal dan lone wol’, ternyata tidak hidup dan merencanakan aksinya tunggal.
Baca pula: Tangkal Radikalisme dengan Kurikulum di Sekolah
Berdasarkan bukti putusan Meja hijau Negeri (PN) Jakarta Timur di 2020 untuk kaum terpidana terorisme yang diringkus polisi pada akhir 2019 dan awal tahun, RM terbukti tidak melakukan aksinya sendirian dan bahkan terpaut dengan jaringan yang terafiliasi dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Sumatera.
“Ia terbukti direkrut oleh jaringan teroris dan bahan peledak yang digunakannya dipasok oleh anggota jaringan teroris yang lain, ” ujar Rico.
Sejenis juga RA, pelaku pemboman Pos Polisi Kartasura, Jawa Tengah, pada 3 Juni 2019, yang awalnya pula disebut sebagai lone wol’ ternyata juga tidak berpose sendirian. Meski tidak terafiliasi dengan JAD atau golongan besar teror lainnya, pemeriksaan polisi belakangan menemukan perut orang yang diduga menimbrung membantu proses perakitan bom yang digunakan RA
Taat Rico, lewat penyidikan mendalam, kasus-kasus yang awalnya disebut sebagai lone wolf, ternyata belakangan ditemukan tidak sendirian atau merupakan bagian lantaran sel atau jaringan teroris tertentu. Karena itu, ia meminta kepolisian dan media massa untuk tidak segera melabel peristiwa penembakan dalam Mabes Polri sebagai lone wolf.
“Pertanyaan publik melanda kejanggalan peristiwa penembakan pada Mabes Polri harus dijawab dengan penyelidikan yang mendalam dan transparan, ” prawacana Rico. “Bukan dengan melabelnya dengan terminologi usang yang sudah ditinggalkan”.
Disebut terminologi usang, perkataan Rico, karena istilah lone wolf sendiri secara international best practice sudah mulai ditinggalkan oleh pengambil kebijakan dan media massa. Pengucapan ‘wolf’ atau serigala dipandang sebagai sesuatu yang heroik, melegitimasi, dan mengglorifikasi aktivitas terorisme. Istilah yang biasa dipakai sekarang adalah lone actor.
“Tetapi tentu saja, sebelum melabelnya sebagai ‘lone actor’, harus dikerjakan penyidikan yang mendalam dan transparan atas insiden tersebut, ” pungkasnya. (RO/OL-7)